Verifikasi kepemilikan Search Google Console Kenapa nilai Rupiah merosot & Dolar naik terus? ~ Hanifa's Website

Jumat, 03 Mei 2019

Kenapa nilai Rupiah merosot & Dolar naik terus?

Kenaikan nilai tukar USD terhadap Rupiah tahun 2018 ramai dibicarakan, tapi tidak ada yang menjelaskan penyebabnya dengan tuntas. Artikel ini menjelaskan kenaikan USD sekaligus sisi negatif dan positifnya bagi Indonesia.
Lo pasti belakangan ini sering denger banyak orang yang ribut-ribut soal nilai tukar Rupiah yang terus merosot. Faktanya memang demikian, nilai tukar Rupiah terus melemah terhadap mata uang Dolar AS sejak awal tahun 2018. Kalo awal tahun 2018, 1 Dolar USA bisa kita dapatkan dengan Rp13.500, sekarang kita perlu mengeluarkan kocek Rp14.400 untuk bisa mendapatkan 1 Dolar USA. Grafiknya bisa kamu lihat pada grafik di bawah ini:
Belakangan, isu pelemahan nilai tukar Rupiah ini seringkali jadi wacana politik. Nah, pada artikel Blog ini, gua mau menegaskan saja bahwa nggak berminat bahas sisi politiknya sama sekali. Gua cuma mau mengupas fenomena ini dari sisi ilmu ekonomi saja, agar lo bisa paham konteks keterkaitan ekonomi dari satu sisi bisa berpengaruh ke hal yang lain. Secara garis besar, ada tiga hal utama yang mau gua bahas dalam artikel ini:
  1. Mengapa Rupiah bisa melemah? Apa penyebabnya?

  2. Apa saja dampak negatif dari pelemahan Rupiah?

  3. Apa saja dampak positif dari pelemahan Rupiah?

Oke deh, yuk kita mulai mengupas Rupiah dari sisi ekonomi:

Turunnya nilai tukar Rupiah, maksudnya gimana?

Sebenernya maksudnya turun gimana sih? Kalo di awal tahun 2018 lalu nilai tukar Rupiah terhadap USD adalah Rp 13.500, sekarang pada Agustus 2018 adalah Rp14.400. Kok dibilangnya turun? Nah, mungkin gue bahas dikit tentang nilai tukar atau kurs ya? Kalo kita ngomongin nilai mata uang suatu negara, kita pasti bandingin mata uang tersebut sama mata uang negara lain. Biasanya yang jadi patokan adalah mata uang Dolar Amerika Serikat atau US Dollar (USD). Jadi kalo kita bilang Rupiah 14 ribuan, artinya adalah 1 USD = Rp14.000-an. Artinya dengan uang Rp. 14.000 lo bisa dapetin 1 USD. Sedangkan pada awal tahun 2018, dengan Rp 13.000an aja lo udah bisa dapetin 1 USD. Makanya dibilang kalo nilai mata uang Rupiah ini menurun, kadang juga disebut “melemah”, tapi istilah yang lebih tepat dalam bahasa ekonomi adalah “depresiasi”. Kalo satu mata uang mengalami depresiasi, pastinya yang satu lagi mengalami kenaikan atau istilah yang lebih tepat adalah “apresiasi”. Dalam hal ini, USD mengalami apreasiasi atau penguatan terhadap nilai mata uang Rupiah.
Terus kira-kira apa dampaknya kalo Rupiah mengalami depresiasi? Contoh yang paling gampang, lo harga barang impor seperti gadget atau barang-barang digital seperti game sekarang jadinya lebih mahal dibanding awal tahun? Coba lo bandingkan harga smartphone atau laptop saat ini, pasti harganya naik signifikan? Nah, itu adalah beberapa dampak dari penurunan nilai tukar Rupiah. Sebetulnya dampak kenaikan nilai tukar USD ini nggak hanya soal harga gadget doang, tapi ada banyak banget. Nanti di pembahasan selanjutnya akan gua bahas sisi negatif maupun sisi positifnya. Lha, emang ada sisi positifnya dari kenaikan nilai tukar USD? Ada dong! Makanya baca terus biar lo bisa paham konsepnya yak!

Sebetulnya Penyebabnya bukan di Rupiah

Perlu gua tegaskan lagi bahwa apa yang gua bahas dalam artikel ini hanya mengacu pada konteks tahun 2018 saja ya. Nah, pada tahun 2018 ini, sebetulnya agak kurang tepat jika kita mempertanyakan “kenapa Rupiah bisa menurun?”, karena sebetulnya bukan Rupiah yang melemah, tapi Dolar AS yang menguat. Kenaikan nilai Dolar AS inilah yang menjadi pemicu awal depresiasi nilai mata uang berbagai negara, termasuk Rupiah Indonesia.
Wah berarti bukan cuma Rupiah doang dong yang terdepresiasi? Mata uang lain juga terdepresiasi?
Yes, hampir semua mata uang negara lain terdepresiasi terhadap nilai USD. Beberapa data yang gue dapatkan sejak awal Maret sampe awal Juli 2018, mata uang Singapura (SGD) terdepresiasi 3.22%, Yen Jepang (JPY) terdepresiasi sebesar 4.17%, bahkan Euro (EUR) dan Pound sterling (GBP) juga terdepresiasi masing-masing 4.54% dan 4.76%. Jadi bisa diliat ya bahwa mata uang berbagai negara juga mengalami hal yang sama seperti negara kita, termasuk negara-negara yang ekonominya sudah sangat maju sekalipun juga terkena dampak depresiasi pada mata uang mereka.

Bagaimana mungkin sebuah mata uang bisa menguat dengan sendirinya?

Lalu, apa dong yang menyebabkan nilai USD tiba-tiba melonjak dibandingkan nilai mata uang lain di seluruh dunia? Pertama-tama kita perlu telusuri dulu logikanya. Bagaimana mungkin sebuah nilai mata uang bisa naik? Sederhananya, nilai mata uang naik, ketika ada pihak pembeli yang SEPAKAT untuk menukarkan nilai mata uang tersebut dengan harga yang lebih tinggi sebelumnya.
Dalam hal USD dengan Rupiah, terjadi pergeseran nilai mata uang dengan skenario seperti ini:
Ketika bulan Januari 2018, pemilik USD sepakat menjual 1USD seharga Rp13.300. Sebaliknya, pemilik Rupiah tidak keberatan membeli 1USD seharga Rp13.300. Lanjut ke bulan Februari 2018, pembeli dan penjual sama-sama sepakat menukar 1USD dengan Rp13.700. Sampai pada bulan Mei 2018, pembeli dan penjual sepakat menukar 1USD dengan Rp14.000. Begitu terus sampai sekarang bulan Agustus 2018, nilai tukar 1USD = Rp 14.400. Dalam teori ekonomi, ini sebenernya cuma mekanisme pasar aja dalam membentuk harga keseimbangan. Sesuai dengan hukum permintaan, yaitu ketika tingkat permintaan terhadap USD meningkat dan tingkat penawaran yang tetap, maka harga USD pun akan naik. Nah komoditas atau barang yang diperjualbelikan di sini adalah valuta asing, yaitu mata uang USD dimana harga dari valuta tersebut adalah kurs atau nilai tukar.
Nah, sekarang pertanyaannya: Kenapa mereka bersepakat? Kenapa si pemilik Rupiah mau-maunya membeli 1USD dengan harga yang lebih “mahal” dari beberapa sebelumnya? Kalau seseorang mau membeli sesuatu yang “lebih mahal” pastinya ada SUATU KEUNTUNGAN bagi seseorang untuk memiliki USD daripada memiliki Rupiah. Pastinya ada suatu manfaat lain jika mereka memiliki USD, sampai-sampai membuat banyak orang sampai RELA untuk menukar Rp14.400 dengan 1USD. Logikanya begitu ya.
Nah, sekarang lo bayangkan, para investor, pengusaha, dan konglomerat di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia, tiba-tiba dalam periode waktu yang relatif singkat RELA menukar segala bentuk kekayaan mereka agar beralih menjadi dalam bentuk USD. Para konglomerat yang kekayaannya dalam bentuk Rupiah, tiba-tiba mengalihkan kekayaannya yang luar biasa banyak ke dalam bentuk USD. Begitu juga para investor asing yang selama ini menanamkan modalnya di Indonesia dalam bentuk Rupiah, tiba-tiba mereka mencabut investasinya dan mengalihkan kekayaannya dalam bentuk USD. Fenomena ini bukan terjadi hanya di Indonesia saja tapi juga di seluruh belahan dunia,
Nah terus apa sih yang membuat mereka tiba-tiba pengen mengalihkan kekayaannya dalam bentuk USD? Apa keuntungannya memiliki USD? Ini dia cerita serunya…

Asal-mula Penguatan Nilai Dolar AS di tahun 2018

Jadi gini ceritanya, dalam beberapa tahun terakhir negara Amerika Serikat (AS) mengalami defisit perdagangan yang semakin lama semakin besar. Jadi nilai impor AS dari berbagai negara partner dagangnya di seluruh dunia jauh lebih besar dibandingin dengan nilai ekspornya. Hal ini membuat keuangan AS kewalahan, karena harus nombok selisih kerugian dagang. Nomboknya dari mana? Ya pastinya ditutup dengan investasi yang masuk ke AS dan juga utang.
Di sisi lain, AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia saat ini, melakukan perdagangan dengan hampir seluruh negara di dunia, dan saat ini partner dagangnya yang terbesar adalah Tiongkok, negara dengan perekonomian nomor 2 terbesar di dunia. Nah, perdagangan antara AS dan Tiongkok ini juga mengalami defisit yang cukup besar bagi sisi AS. Bisa lo liat di grafik ini nih perkembangan neraca perdagangan AS dengan Tiongkok sejak 2010:
Melihat kerugian dagang yang semakin parah dari tahun ke tahun, akhirnya waktu AS Pilres tahun 2016 lalu, Donald Trump, sebagai salah satu kandidat yang mencalonkan diri sebagai Presiden saat itu salah satu poin dari kampanyenya adalah untuk menurunkan defisit perdagangan AS apabila ia terpilih sebagai Presiden. Oleh karena itu, setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS dan dilantik pada Januari 2017, ia beserta kabinetnya mulai menyusun program kebijakan yang bertujuan menurunkan defisit kerugian perdagangan AS.
Program kebijakan itu baru mulai dijalankan pada tahun 2018, salah satunya ketika bulan Maret 2018 Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan tarif atau pajak impor untuk produk besi baja dan aluminium yang masuk ke pasar AS sebesar 25%. Sebenarnya kebijakan tersebut ditujukan untuk semua negara yang mengekspor besi baja dan aluminium ke AS, namun karena Tiongkok merupakan partner dagang terbesar AS, maka produsen besi baja dan aluminium dari Tiongkok yang sangat merasakan dampak dari pengenaan tarif ini. Dengan mengenakan tarif tambahan ini, diharapkan kerugian dagang AS akan menjadi semakin kecil daripada sebelumnya.
Sebagai respon dari kebijakan tarif AS tersebut, Presiden Tiongkok, Xi Jinping juga nggak mau kalah, mereka mengumumkan bahwa Tiongkok akan mengenakan 25% tarif untuk 128 produk-produk AS yang memasuki pasar Tiongkok, termasuk berbagai produk pangan. Wah, makin panas deh tuh dua negara terkuat ini malah memulai perang dagang. Pihak Tiongkok tahu bahwa salah satu kekuatan ekspor AS itu didominasi oleh sektor agrikultur, sehingga tentu saja pengenaan tarif tambahan ini akan mengikis pendapatan bagi para petani dan pengusaha peternakan di AS.
Suasana perang dagang ini semakin diperpanas ketika Donald Trump juga mengemukakan kecurigaannya bahwa Tiongkok melakukan praktek perdagangan yang tidak adil (unfair trade practices) terkait pencurian kekayaan intelektual (intellectual property) dan inovasi teknologi. Untuk hal ini, AS melaporkan kepada World Trade Organization (WTO), sebagai badan internasional yang salah satu tugasnya adalah memastikan bahwa perdagangan internasional dapat berjalan dengan lancar tanpa ada kecurangan.
Panasnya perang dagang semakin menjadi di tahun 2018 hingga bulan April, AS mengeluarkan sebuah daftar berbagai produk yang diimpor dari Tiongkok yang rencananya akan dikenakan tarif. Hal ini dibalas oleh Tiongkok dengan mengumumkan pengenaan tarif ke berbagai produk AS lainnya. Perang tarif ini berlangsung terus-menerus hingga bulan Juli 2018. Berikut timeline pengenaan dan juga proposal (pengajuan) rencana pengenaan tarif dari kedua negara:
Berbagai hal yang terjadi pada Perang Dagang antara AS dan Tiongkok ini membawa dampak bukan cuma ke dua negara tersebut, tetapi juga ke negara-negara lain di seluruh dunia, mengingat kedua negara tersebut merupakan negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Sebagai akibatnya, kondisi bisnis dan dunia investasi pun mengalami gangguan. Para pemilik modal menjadi ragu dalam memutuskan untuk menanamkan modalnya di sektor mana dan para pelaku bisnis juga jadi bingung dalam menentukan kebijakan perusahaannya.

Lalu apa hubungannya dengan Rupiah?

Sabar, jadi gini ceritanya, setelah perang dagang semakin panas dan membuat kepanikan khususnya bagi para investor, pengusaha, dan konglomerat di seluruh dunia, pihak AS pun merasa mereka perlu memberi kepastian kepada para investor dan pelaku bisnis ini. Oleh karena itu, pada pertemuan bank sentral AS bulan Juni 2018, Federal Reserve atau biasa disebut The Fed (Kalo di Indonesia kita punya Bank Indonesia sebagai bank sentral, di Amerika namanya The Fed)  memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunganya hingga mencapai 2%. Bahkan The Fed juga mengumumkan bahwa Fed Rate masih mungkin akan dilakukan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini.
Lalu apa yang terjadi ketika suku bunga USD dinaikkan oleh The Fed? Tiba-tiba saja, banyak investor, pengusaha, konglomerat, dll berbondong-bondong mengalihkan kekayaan mereka dalam bentuk USD. Kenapa begitu? Soalnya mereka tahu kalo kekayaannya ditaruh dalam bentuk USD, maka mereka mendapatkan persentase bunga yang besar. Para investor dengan modal besar ini juga hafal, kalau kenaikan tingkat suku bunga USD akan membuat nilai USD meroket. Di sisi lain, para pengusaha juga sadar, jika kekayaan aset mereka tetap berada dalam bentuk mata uang lain (katakanlah Rupiah), maka secara teknis kekayaan mereka akan menurun, mereka akan semakin sulit membeli barang yang berbasis USD, mereka juga akan semakin berat membayar utang yang basisnya USD.
Para pemain di pasar uang dan pasar modal mengalihkan investasinya ke USD, sehingga mendorong mata uang tersebut mengalami apresiasi. Masih inget kan lo sama yang namanya Hukum Permintaan, yang bilang ketika kuantitas barang yang diminta naik, maka harga barang tersebut pun akan naik juga. Nah, itulah yang terjadi sama mata uang USD. Ketika banyak orang yang membeli instrumen investasi berbasis USD, maka permintaan terhadap mata uang tersebut pun naik. Sebagai akibatnya, harganya pun jadi ikutan naik. Makanya nilai mata uang USD jadinya mengalami apresiasi terhadap mata uang berbagai negara di dunia, termasuk salah satunya adalah Rupiah.
Dengan begini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kemerosotan nilai Rupiah ini disebabkan oleh kenaikan suku bunga USD sebagai salah satu strategi perang dagang AS melawan Tiongkok yang memicu para pemilik modal untuk menjual menukarkan kekayaannya dalam bentuk Rupiah menjadi berbentuk Dolar Amerika.

Dampak Buruk bagi Indonesia

Tentunya depresiasi Rupiah terhadap USD memiliki dampak buruk bagi Indonesia. Beberapa di antaranya adalah

1. Investor asing kabur karena mengalihkan kekayaannya dalam bentuk USD.

Kaburnya investor asing ini membuat index harga saham Indonesia (IHSG) mengalami penurunan sejak awal tahun 2018. Dengan menurunnya IHSG, maka perusahaan-perusahaan Indonesia jadi kekurangan modal untuk mengembangkan bisnis mereka. Berikut di bawah ini adalah penurunan IHSG (Index Harga Saham Gabungan) milik perusahaan-perusahaan Indonesia yang menurun tajam (lihat area berwarna merah) setelah AS memberlakukan kebijakan menaikan nilai suku bunga USD.

2. Utang negara jadi lebih besar dari prediksi sebelumnya

Utang negara kita saja sebagian besar berbentuk Dolar Amerika. Dengan kenaikan nilai USD, jumlah utang negara kita jadi lebih besar daripada prediksi sebelumnya. Kemampuan negara Indonesia untuk membayar utang negara juga perlu disesuaikan.
Biasanya pada akhir tahun, Pemerintah nyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Nah pada saat itu, Pemerintah akan mengasumsikan nilai tukar Rupiah terhadap USD akan sebesar apa. Misalnya untuk APBN tahun 2018, Pemerintah mengasumsikan nilai tukarnya adalah 1 USD = Rp 13.400. Sebagai akibatnya, perkiraan keuangan negara jadinya banyak yang meleset nih. Misalnya aja dengan asumsi nilai tukar seperti itu, otomatis nilai utang negara yang dalam bentuk USD jadinya akan membengkak karena yang terjadi saat ini nilai tukarnya kan 1 USD = Rp 14.400 ya.

3. Daya konsumsi masyarakat bagi barang impor jadi menurun

Ini dampak yang mungkin paling berasa bagi lo semua. Yak, kemampuan kita masyarakat Indonesia yang pegang Rupiah menjadi semakin sulit untuk bisa membeli barang-barang dari luar negeri yang dipatok dengan USD.
Inilah hal-hal negatif dari kenaikan nilai tukar USD terhadap Rupiah, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Eit, tapi jangan salah lho. Tidak selamanya kenaikan nilai tukar ini berdampak buruk saja. Ada beberapa pihak di Indonesia yang malah diuntungkan dari kondisi ini. Siapa saja mereka?

Adakah masyarakat Indonesia yang diuntungkan karena kenaikan USD terhadap Rupiah?

Tidak semua orang di Indonesia dirugikan dengan kenaikan USD terhadap Rupiah lho. Ada beberapa pihak di Indonesia yang justru merasa diuntungkan dengan terdepresiasinya nilai Rupiah. Berikut beberapa di antaranya

Para Eksportir

Para eksportir atau pelaku usaha yang target pasarnya adalah pasar luar negeri. Mereka senang dengan tingginya harga Dolar AS karena hal tersebut membuat produk-produk mereka jadi relatif lebih murah dibandingin produk lainnya yang sejenis. Kok bisa? Misalnya nih biaya produksi tas Rp120.000. Tadinya dengan nilai tukar 1 USD = Rp12.000, berarti kan dalam mata uang USD tuh jadinya 10 USD. Sekarang kalo nilai tukarnya 1 USD = Rp14.400, jadinya kan 8.28 USD (Rp120.000/Rp14.400). Jadinya di pasar internasional lebih murah kan tuh ya? Karena lebih murah, tentunya barang kita lebih laku. Udah makin laku, dibeli oleh konsumen asing dengan tarif Dolar yang nilainya semakin tinggi pula. Jadi untungnya lebih besar deh.

Sektor Pariwisata

Selain para eksportir, sektor pariwisata juga diuntungkan. Yang tadinya kalo turis dari Amerika bawa uang USD 1.000 Cuma bisa dapet Rp12.000.000, sekarang mereka bisa dapet Rp14.400.000. Hal ini tentunya akan menarik minat turis asing yang berkunjung ke Indonesia. Mereka jadi memiliki daya beli yang lebih besar untuk berbelanja di Indonesia. Sebaliknya, sektor pariwisata kita juga jadi semakin ramai dikunjungi dan para turis menjadi semakin konsumtif dengan membeli berbagai macam servis maupun barang lokal Indonesia.

Tenaga Kerja Indonesia yang dibayar dengan USD

Selain itu, tenaga kerja Indonesia yang berpendapatan dalam mata uang USD, seperti Tenaga Kerja Asing dan juga pekerja freelancer yang memiliki client dari luar negeri. Sebenarnya upah mereka sih nggak berubah, tapi karena nilai tukar USD meningkat, mereka menjadi dapat menukar dengan nominal Rupiah yang lebih besar. Misalnya jika awal tahun 2018 pendapatan mereka $500 itu sama dengan Rp6.700.000, sekarang dengan pendapatan $500 mereka bisa menukar dengan Rp7.250.000

 ****

Nah demikianlah ulasan gue tentang fenomena kenaikan nilai tukar USD terhadap Rupiah. Semoga dengan membaca artikel ini, lo jadi nggak cuma terpapar oleh berita-berita singkat yang hanya membahas “kulit luar”-nya saja. Tapi juga mendapatkan pembahasan yang komprehensif sehingga bisa memahami logika ekonomi sekaligus memahami rantai sebab-akibat yang terjadi di balik fenomena nilai tukar Rupiah dengan Dolar Amerika saat ini. Semoga artikel ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan lo semua, sampai jumpa di artikel berikutnya!

Keterangan sumber:
https://www.kemenkeu.go.id/apbn2018
https://www.digitalcommerce360.com/2018/07/06/timeline-of-the-trump-china-trade-war/
https://www.cfr.org/timeline/us-relations-china
https://ig.ft.com/us-china-tariffs/
https://www.bbc.com/news/world-43512098
https://omny.fm/shows/fjonair/playlists/dc-signal-to-noise-with-jim-wiesemeyer

0 komentar:

Posting Komentar